Saturday, July 19, 2014

RABU, 09 JULI 2014 | 22:24 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, mengapresiasi kinerja Polri dan TNI dalam mengamankan pemilihan umum presiden hari ini, Rabu, 9 Juli 2014. Menurut dia, berdasarkan laporan Kepala Polri Jenderal Sutarman dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko, pemilu presiden berjalan lancar, tertib, dan aman di seluruh Indonesia.

Meski begitu, Menteri Djoko meminta Kapolri dan Panglima TNI tetap memasang status siaga satu. Sebab Djoko menilai masih ada potensi kericuhan di masyarakat pasca pemilu presiden. "Terutama berkaitan dengan hasil hitung cepat yang dilakukan berbagai lembaga survei," kata Djoko dalam jumpa pers di kantornya hari ini. (Baca: Jokowi-JK Diterima SBY di Cikeas

Alasannya, dalam hasil hitung cepat tersebut kedua pasangan presiden-wakil presiden, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sama-sama menang dengan selisih tipis. Ditambah lagi, kedua kubu sudah menyatakan kemenangan masing-masing. Bawaslu Minta Masyarakat Tak Terbuai Quick Count

Mantan Panglima TNI ini juga meminta kedua kubu untuk mampu menahan diri dan menghindari tindakan anarkis karena perbedaan hasil hitung cepat. Menurut Djoko demokrasi di Indonesia harus tetap mematuhi Undang-Undang. (Baca: Jokowi dan Prabowo Ketemu SBY Malam Ini

Dia pun meminta Polri dan TNI untuk tegas menindak pendukung kedua kubu yang sengaja melakukan keonaran atau memancing keributan kubu lain. "Jika melakukan tindakan melawan hukum, kami akan lawan dengan penegakan hukum," kata dia. "Hukumannya apa, Pak Kapolri yang lebih tahu." (Baca: SBY Minta Kedua Kubu Menahan Diri

Sebelumnya, berdasar hasil hitung cepat Cyrus Network bekerja sama dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla menang. Hitung cepat di 2.000 tempat pemungutan suara (TPS) di 77 daerah dan 33 provinsi seluruh Indonesia, pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-JK memperoleh suara 45,17 persen mengalahkan Prabowo-Hatta dengan perolehan 42,15 persen.

Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa unggul dalam hitung cepat yang dilakukan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dan Lembaga Survei Nasional (LSN). Prabowo-Hatta unggul tipis dari pasangan Jokowi-JK. (Baca: SBY Minta Tunggu Rekapitulasi KPU

Hasil "Quick Count" Lembaga Survei Pro-Jokowi dan Yang Pro--Prabowo, Plus Real-Count PKS ... bikin Bingung Masyarakat!

Mahfud MD akan habis-habisan berjuang demi Prabowo-Hatta sampai MK
Rabu, 9 Juli 2014 19:37

Merdeka.com - Tim pemenangan Prabowo-Hatta, Mahfud MD akan mengawal jalannya proses penghitungan sampai ada penetapan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di yakin, hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga survei, Prabowo-Hatta menang.

"Kami merasa menang dan yakin. Kita pertahankan sampai KPU, kalau perlu sampai ke MK," kata Mahfud di studio tvOne, Rabu (9/7).

Mahfud meminta relawannya menjaga surat suara jangan sampai ada kecurangan. "Kami menolak ada intervensi," jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Mahfud menegaskan pihak lain tidak berhak untuk mengklaim kemenangan hanya berdasarkan oleh hasil hitung cepat. Apalagi hasil hitung cepat beberapa lembaga survei tidak bisa dijadikan acuan secara hukum.

"Quick count dari sudut hukum tidak bisa diterima dan harus menunggu hasil dari KPU," tegasnya.

Hasil hitung cepat yang dilakukan oleh Indonesian Research Centre (IRC), pasangan Prabowo-Hatta unggul 51.11% dan Jokowi-JK 48.89%.


Projo: Tim PDIP Siapkan Pakar Konstitusi untuk Antisipsi Pilpres Berujung di MK
Sabtu, 24 Mei 2014 , 08:23:00 WIB

RMOL. Pilpres 2014 hanya diikuti dua pasangan; Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Karena itu pilpres kali ini sangat berpotensi memicu sengketa perhitungan suara yang akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apalagi jika selisih suara antar pasangan calon hanya sekitar 5 persen.

Dengan dasar dan untuk mengantisipasi hal itu, relawan Pro-Jokowi (Projo) telah menyiapkan sejumlah pakar konstitusi jika hasil pilpres memang disengketakan ke MK. "Projo belum dapat menyebutkan namanya karena pakar-pakar tersebut baru mau tampil setelah ada kepastian perkara Perhitungan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres dibawa ke MK," kata Kepala Divisi Hukum dan Konstitusi Projo, Sunggul Hamonangan Sirait, beberapa saat lalu (Sabtu, 24/5).

Sunggul pun [U]mensinyalir pihak Prabowo-Hatta telah bersiap-siap jika PHPU Pilpres dibawa ke MK[/U]. Hal ini terlihat setidaknya dari tiga indikator.
  1. Pertama, mantan Ketua MK Machfud MD telah menjadi Ketua Pemenangan Probowo-Hatta.
  2. Kedua, Yusril Izha Mahendra, advokat yang biasa praktek di MK berasal dari Partai Bulan Bintang (PBB), partai yang telah secara resmi mengusung pencapresan Prabowo-Hatta.
  3. Ketiga, salah satu anggota Tim Prabowo-Hatta adalah anak dari mantan Ketua MK periode pertama.
"Untuk itu Projo akan memberikan nama-nama pakar konstitusi tersebut kepada Jokowi-JK guna melengkapi Tim Hukum Jokowi yang telah dibentuk pada hari Jumat, 23 Mei 2014 kemarin," demikian Sunggul.


Peluang Kudeta Konstitusional Pemilu 2014
JUM AT, 28 FEBRUARI 2014

Oleh: Soleman B. Ponto, Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI 2011-2013

Pada 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun, aneh tapi nyata, undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat itu oleh MK dinyatakan masih dapat dipakai dalam pelaksanaan Pemilu 2014.

Dengan demikian, secara jelas masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pelaksanaan Pemilu 2014, apabila masih menggunakan Undang-Undang Nomor 42/2008, hasilnya inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik Presiden, Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Akibat inkonstitusional Pemilu 2014, sangat mungkin pihak terkait, baik para pendukung status quo maupun yang kalah, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat para pemenang. Dalam kondisi demikian ini, dapat dipastikan akan terjadi dua kubu yang saling klaim kemenangan dan kebenaran. Dua kubu ini berada pada jumlah, wilayah, dan kekuatan politik yang hampir seimbang. Maka yang akan terjadi adalah keadaan chaos, yakni sebuah kondisi yang mengarah ke pemberontakan bersenjata. Chaos bisa terjadi karena alamiah atau bisa pula rekayasa oleh pihak yang mau mengambil atau mendapat keuntungan oleh kondisi ini.

Dalam kondisi chaos inilah, apalagi kalau sudah menjurus ke arah pemberontakan bersenjata, posisi TNI menjadi sangat penting. Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan, dinyatakan bahwa setiap anggota TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI menyebutkan, "Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara."

Sudah sangat jelas positioning TNI. Pertama, TNI akan dan harus berpihak kepada pihak yang mendukung pelaksanaan UUD45. Kedua, TNI harus tunduk kepada hukum, sehingga ia harus menjaga keutuhan bangsa. Bila keutuhan bangsa Indonesia terancam oleh chaos, TNI wajib melaksanakan Operasi Militer Selain Perang untuk mengatasi pemberontakan bersenjata, seperti yang tertulis pada pasal 7 ayat 2 titik 2 Undang-Undang No. 34/2004.

Di sisi lain, dari aspek hukum humaniter, pemberontakan bersenjata atau chaos yang mengarah ke perang saudara, karena menggunakan berbagai jenis senjata, masuk kategori konflik bersenjata internal, di mana rezim hukum yang berlaku adalah rezim hukum humaniter. Ini artinya, kekuasaan penuh berada di tangan militer. Dengan demikian, bila hal ini terjadi di Indonesia, kewenangan dan kewajiban untuk bertindak mengatasi chaos berada di tangan TNI.

Bila TNI tidak bertindak, pemimpin TNI (dalam hal ini Panglima) dapat dituntut sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana para perwira TNI yang bertugas di Timor-Timur dituduh sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran sehingga menyebabkan perang saudara setelah jajak pendapat. Apalagi saat ini sangat jelas perintah undang-undang kepada TNI agar menegakkan kedaulatan negara yang berdasarkan UUD 1945 serta menjaga keutuhan bangsa. Dan, yang tidak kalah penting, setiap anggota TNI akan dikutuk Tuhan apabila tidak melaksanakan sumpahnya.

Memang, dalam UU TNI Pasal 17 ayat (1) disebutkan, "(1) Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden." Juga dalam Pasal 7 ayat 3 disebutkan bahwa ketentuan tentang operasi militer untuk perang maupun selain perang dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Pertanyaan besarnya, bagaimana TNI harus tunduk ketika posisi presiden maupun DPR dianggap tidak berdasarkan UUD 1945?

Dengan demikian, sangatlah jelas keputusan MK--yang membenarkan penggunaan undang-undang yang bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Pemilu 2014--akan mengakibatkan chaos, baik terjadi secara alamiah maupun memang dengan sengaja direkayasa oleh pihak-pihak yang diuntungkan. Bila chaos terjadi, terbuka peluang TNI melakukan "kudeta" konstitusional atau kudeta yang di perintah oleh undang-undang.

Nah, supaya hal ini tidak terjadi, pelaksanaan pemilu serentak harus dilaksanakan pada Pemilu 2014 ini. Karena itulah yang konstitusional. Lebih baik tertunda daripada tidak legitimated.


Jimly Asshiddiqie: Ada Indikasi Pemilu Bakal Ricuh
MINGGU, 30 MARET 2014 | 12:54 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menyampaikan adanya kekhawatiran bahwa pemilihan umum legislatif dan presiden 2014 bakal diwarnai dengan kericuhan. Menurut Jimly, kekhawatiran ini diperkuat oleh munculnya sejumlah tulisan resmi yang menggambarkan keadaan tersebut.

"Dikatakan bahwa TNI akan melakukan kudeta konstitusional," kata Jimly saat berpidato dalam acara tablig akbar yang berlangsung di Masjiid Agung Al-Azhar, Ahad, 30 Maret 2014.

Jimly mengatakan tidak pernah ada kudeta yang konstitusional. Karena itu, ia mengimbau publik untuk tidak menggiring isu tersebut sehingga menjadi kenyataan. "Jangan kita ikut seperti Mesir, Ukraina, Thailand yang mengandalkan militer dalam politik. Kita harus memastikan semuanya lancar," katanya.

Langkah yang perlu didorong, ucap Jimly, adalah menghilangkan potensi golongan putih (golput) di masyarakat. "Dari pemilu ke pemilu, angka golput selalu meningkat. Misalnya pada 2009 partisipasi pemilih 94 persen, kemudian 2004 menurun menjadi 80-an persen. "Jangan sampai pemilu tahun ini semakin turun."

Menurut Jimly, bila masyarakat masuk golput, suara mereka akan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai kehendak politik pihak tersebut. Kondisi demikian tentunya akan berdampak buruk bagi kehidupan bangsa ke depan. Karena itu, dia berharap masyarakat bisa menggunkan hak pilih mereka. "Kita jangan terbuai ilusi akan terjadi chaos, angka golput yang harus ditekan," ujarnya.


Pakar Hukum Tata Negara, Prof.Yusril Ihza Mahendra : Bahaya, Ada Persoalan Konstitusi dan Legitimasi bagi Presiden Terpilih
Kamis, 20 Maret 2014 | 22:02 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilihan Presiden 2014 akan mengalami persoalan konstitusi dan legitimasi. Hal itu terkait putusan MK yang menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukannya.

"Persoalan bagi saya yang paling penting adalah permohonan ini tidak dikabulkan, berarti akan ada persoalan konstitusi dan legitimasi bagi presiden terpilih yang akan datang," kata Yusril seusai sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (20/3/2014).

Dalam putusannya, MK memutuskan tidak dapat menerima permohonan Yusril yang meminta MK untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C, dikaitkan dengan Pasal 22E Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3), dan penafsiran Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK juga memutuskan menolak permohonan lainnya.

Yusril mengatakan, sebagai seorang pakar hukum, ia hanya ingin meluruskan undang-undang dan konstitusi. Oleh karena itu, dia sangat menyesalkan permohonannya ditolak.

"Kalau terjadi sesuatu silakan tangani sendiri. Kalau ada sesuatu saya merasa lepas. Sebagai akademisi hukum, saya merasa sudah mempunyai tanggung jawab serta kewajiban moral untuk mengingatkan kalau akan timbul permasalahan. Tapi, kalau tidak diindahkan seperti ini bukan lagi tugas saya. Saya hanya mengingatkan dan MK yang mengambil keputusan," ujar dia.

Dalam permohonannya, Yusril menguji Pasal 3 Ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres. Intinya, Yusril meminta agar Pemilu 2014 dilaksanakan secara serentak dan presidential threshold dihapuskan. Dengan ditolaknya putusan ini, pemilu serentak tetap dilaksanakan pada tahun 2019 mendatang dan ambang batas pencalonan presiden tidak dihapuskan.


------------------------------------

Aparat keamanan dan intelejen (TNI, Polri dan BIN), sebaiknya sedia payung sebelum hujan. Jangan dibiarkan kalau ada tanda-tanda menuju ke arah sana, meskipun masih kecil apinya. Ancaman diatas bukanlah sekedar isapan jempol belaka, mengingat ini adalah masa suksesi kepemimpinan nasional. Dalam catatan sejarah Nusantara, bahkan sejak zaman Sultan Agung dulu, setiap ada suksesi (terutama di tanah jawa). pasti terjadi gonjang-ganjing (lihat saja buku "Babad Tanah Jawi"). Bahkan pasca kemerdekaan 1945 lalu, sejarah menunjukkan selalu terjadi 'gonjang-ganjing' setiap ada suksesi kekuasaan di negeri Indonesia modern. Mulai Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang ditandai serbuan tentara NICA-Belanda hingga penyerahan kedaulatan 1949; Lalu di zaman Kabinet Parlementaria (RIS) tahun 1950 hingga 1959, dimana masa itu kabinet Parlementaria jatuh-bangun hampir setiap 6 bulan berkuasa; Tahun 1959 Presiden Soekarno kemudian mengambil-lalih kekuasaan dengan Dekrit 5 Juli1959 dimana dia merombak sistem kekuasaan dengan menghapus konstitusi RIS dan kembali ke konstitusi 1945 sehingga sistem kekuasaan beralih ke tangannya penuh secara mutlak hingga tahun 1965 (kabinet Presedential);

Saat terjadi suksesi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto (1965-1970), kembali negeri ini gonjang-ganjing dengan terjadi perang saudara saat itu. Lalu saat suksesi dari tangan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun di tahun 1998, juga terjadi gonjang-ganjing di tahun 1998 itu, bahkan lengkap dengan krisis ekonomi segala. Suksesi dari tangan Presiden Gus Dur yang di impeachment oleh MPR, juga hampir saja menyebabkan perang saudara kembali antara pengikut Gus Dur dengan melawan saingan politiknya saat itu (2001), untung Gus Dur masih waras. Beliau memilih keluar negeri untuk sementara sampai suasana dingin baru kembali ke Indonesia waktu itu. Nah, sekarang adalah masa ketika Presiden SBY akan menyerahkan kekuasaanya kepada pemenang Pilpres tanggal 9 Juli nanti. Belajar dari sejarah, tak ada salahnya kita semua waspada. Untuk TNI dan Polri, kalau perlu mulai Siaga-1 sejak H-7 hingga H+30.

Saran saya, segera kawal ketat dan amankan pekerjaan KPU di dalam mengumpulkan dan menghitung kartu suara. Pantau betul, jangan sampai terjadi kebocoran dan kecurangan, sebab bila hasil "quick count" diatas memang shahih, hasilnya tak akan banyak berbeda dengan perhitungan manual KPU, dan bedanya sangat tipis sekali.  Hasil tipis itu jelas berpotensi sekali menimbulkan konflik horizontal, apalagi masyarakat sudah di kompori sebelumnya bahwa bila pasangannya kalah (dari hitungan 'quick count' yang sebelumnya telah memenangkan jagonya), berarti ada kecurangan di KPU. Mereka akan menolak hasil KPU, dan itu berarti akan segera terjadi krisis politik berkepanjangan.

Harap pula diantisipasi rencana kedua kubu akan menggugat hasil akhir KPU, terkait dasar hukum penyelenggaraan pilpres itu sendiri. Indonesia bisa saja menjadi seperti kasus Thailand di awal tahn 2014 ini, pemilu sudah diadakan tetapi karena pihak-pihak yang terlbat saling bertikai dan meng-klaim dirinya yang menang, akhirnya militer "terpaksa" turun tangan, melakukan kudeta militer hingga saat ini. Memang akan sangat baik sekali kalau KPU bisa mengusahakan bekerja lebih cepat tetapi tepat dan teliti sehingga hasil pilpres yang shahih, bisa diumumkan lebih cepat dari jadwal yang sudah ditentukannya. Itu setidaknya akan segera meredam semua ketegangan yang mulai membara di kedua kubu capres ybs. Wallahu 'alam





Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


HITSTAT

Total Pageviews

Popular Post

- Copyright © 2013 Catatan Harian Awanul Hamzah| Powered by Blogger