Monday, June 3, 2013

Orang baru dalam lingkungan baru sudah tentu akan mengalami masa di mana ia merasa terasingkan. Hal itu terjadi karena orang baru tersebut masih belum melakukan adaptasi kultural di lingkungan yang baru.

Adaptasi kultural bisa kita sebut asimilasi. Menurut H. Poerwanto (2006), sebagai salah satu bentuk dari proses-proses sosial, asimilasi erat kaitannya dengan proses dan hasil pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Walaupun H.Poerwanto (2006) mengatakan bahwa asimilasi dan akulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama dan M. Gordon (1964) mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering digunakan oleh ahli sosiologi dan ahli antropologi memakai istilah akulturasi tetapi tetap saja ada penekanan tentang perbedaan dimensi seperti yang dikemukakan oleh Robert E.Park dan Ernest W.Burgess (1921) bahwa asimilasi merupakan produk akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial.

Asimilasi budaya bisa juga disebut sebagai asimiliasi perilaku. Dalam asimilasi ini yang berasimilasi adalah sistem sosial. Lalu yang dimaksud dalam sistem sosial ini adalah pola-pola perilaku orang-perorangan maupun kelompok. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perilaku merupakan tanggapan atau reaksi dari individu dalam bentuk gerakan (sikap), baik badan ataupun ucapan. Ucapan sangat berhubungan erat dengan bahasa begitu juga sebaliknya. Bahasa merupakan salah satu wujud dalam kebudayaan. Ada beberpa macam bahasa seperti bahasa bunyi/lisan/penuturan, bahasa tulis dan juga bahasa gerak/isyarat. Maka dari itu contoh kasus yang akan saya berikan pada tugas kali ini adalah tentang asimilasi budaya yang dilakukan oleh orang Kebumen (orang ngapak) di perantauan tepatnya di dunia perkuliahan mereka di kota besar—Jakarta dan Yogyakarta—dengan fokus asimilasi budaya atau perilaku/sikap dan ucapan (bahasa bunyi) penuturan. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa asimilasi adalah produk akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial. Maka kegagalan seseorang dalam asimilasinya baik yang bersifat sementara atau tidak pada dasarnya —sesuai dengan fakta yang akan saya jelaskan pada tugas ini—pasti akan menghasilkan prasangka-prasangka. Stereotipe buruk yang sudah ada pada awalnya terakumulasi dengan kegagalan asimilasi menyebabkan munculnya prasangka-prasangka tersebut. Pada dasarnya stereotipe merupakan imaginasi mentalitas yang kaku yaitu dalam wujud memberikan penilaian negatif yang ditujukan kepada out-group (H.Poerwanto, 2006). Stereotipe itu juga bisa muncul dari hal-hal yang sepele pada awalnya. Stereotipe yang jelek tentang orang ngapak juga muncul lewat hal sepele. Salah satunya yaitu ngobrol pada jumpa pertama. Ngobrol adalah hal yang tidak bisa dihindari di kehidupan sehari-hari. Semua orang yang terlahir dan pernah hidup di dunia tanpa kecuali pasti pernah ngobrol atau bercakap-cakap dengan sesamanya. Berhubung ngobrol ini terjadi pada siapa saja maka dari itu ketiga informan saya dari ikatan mahasiswa Kebumen di Jakarta dan Yogyakarta ini juga tidak bisa lepas dari ngobrol.

Ngobrol itu akan terasa nyaman jika interaktif dan komunikatif. Interaktif jika ngobrol atau komunikasi dua arah atau lebih ini dilakukan dengan sangat baik dan masing-masing lawan bicara mendapat umpan balik. Sementara itu komunikatif jika ngobrol ini dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti baik bahasa ibu (Bahasa Indonesia) atau bahasa daerah lokal. Jika salah satu dari dua hal tersebut tidak dipenuhi biasanya akan terjadi miss komunikasi atau salah pengertian dalam ngobrol tersebut.

Miss komunikasi ini sering terjadi pada ketiga informan saya yang berasal dari Kebumen ini. Sudah bukan hal baru lagi bahwa orang Kebumen dan bahasa ngapak-nya adalah suatu yang sangat melekat dan tidak bisa dipisahkan. Penutur asli bahasa ngapak atau Banyumasan ini sering diejek, dihina dan tidak sedikit yang disampingkan/dikucilkan dari pergaulan jika sedang ngobrol dengan orang-orang yang dari luar kota Kebumen, seperti Yogyakarta, Jakarta dan Semarang.

Contohnya Mujib, informan saya dari Kebumen yang sekarang berkuliah di Yogyakarta. Dia pernah terjerat kasus pertengkaran gara-gara diejek ngapak dan Kebumen-nya oleh rekan satu kampusnya. Bagi seorang penutur ngapak asli seperti Mujib, beradaptasi dengan bahasa Jawa Jogja terasa sangat sulit. “Maning dadi meneh, inyong dadi aku, kiye dadi kuwi atau iku”, kata Mujib ketika curhat masalah ini.

Beda orang beda masalah. Serupa tapi tak sama. Agam, informan saya asli Kebumen yang hijrah ke Jakarta juga mempunyai masalah dengan kengapakannya. Teman-temannya di ibukota merasa ilfeel (ilang feelling atau kehilangan simpati) ketika berkenalan dan tahu bahwa Agam berbicara bahasa ngapak yang menurut mereka sangat aneh apalagi cengkok-cengkok tertentu dalam bahasa ngapak memang agak susah disamarkan.

Ani, informan saya yang lain mengatakan bahwa teman-teman barunya di kampus pada awalnya susah untuk menerima Ani sebagai salah satu bagian dari mereka. Mereka mempunyai anggapan bahwa orang Kebumen yang ngapak adalah orang-orang ndeso yang juga terkenal kolot dan mudah heran—terlalu terkagum-kagum dengan hal yang baru.

Contoh-contoh kasus di atas terjadi karena mereka bertiga masih gagal dalam berasimilasi. Menurut saya mulai dapat dilihat beberapa faktor kegagalan dan mengapa orang ngapak diberi label tidak menyenangkan. Faktor tersebut adalah :

1. Media pertelevisian Indonesia dengan sengaja atau tidak telah menggunakan bahasa ngapak sebagai bahasa lawak. Bahasa ini biasanya digunakan oleh para actor atau aktris yang berperan dalam film-film situasi komedi sebagai orang desa/kampung. Rupanya hal ini ikut ambil bagian dalam membentuk stereotipe terhadap penutur-penutur bahasa Banyumasan.

2. Pertengkaran seperti yang dilakukan Mujib menurut saya bisa menjadi suatu masalah besar jika ada orang yang melihat dari sudut pandang out-group atau pemberi stereotype. Pertengkaran ini—emosi yang ditunjukan dengan bentuk apapun—semakin membenarkan pandangan bahwa orang Kebumen/orang ngapak adalah orang ndeso/kampungan yang kolot dan mudah terpancing emosinya seperti orang yang tidak berpendidikan.

3. Asimilasi yang kurang baik dari beberapa orang Kebumen sendiri. Beberapa dari mereka memegang prinsip ‘Orang ngapak ora kepenak’ yang artinya tidak berbicara dengan bahasa ngapak itu tidak enak. Hal ini membuat mereka sulit menghilangkan kengapakannya walaupun dalam rangka adaptasi sekalipun.

Tetapi ketiga informan saya tersebut juga bukan mahasiswa yang bodoh mereka berinisiatif untuk sedikit memudarkan pedoman mereka sendiri yaitu ‘ora ngapak ora kepenak’. Bagaimanapun juga mereka harus melakukan asimilasi demi eksistensi mereka. Beberapa dari mereka sekarang sudah mulai melakukan penyesuaian-penyesuaian. Hal ini ditunjukan melalui perilaku dan pengurangan menggunakan bahasa ngapak dalam pergaulan sehari-hari mereka yang mulai dipudarkan dan diganti dengan Bahasa Indonesia campur bahasa gaul Jakarta. “Ya ora nganggo Lu Gue. Aku Kamu wae cukup sing penting ora keton ngapake”, kata Agam. “Tapi walau ngono tetep wae aku ora ulih lali karo Kebumen lan ngapake Yud”. Tambahnya dalam percakapannya dengan saya terakhir kali saya bertemu dengan Agam beberapa hari yang lalu. Ia sudah mulai menggunakan bahasa Indonesia lebih banyak daripada bahasa ngapaknya. Sikap dinamis juga sudah mulai terlihat dengan indikator-indikator tertentu seperti gaya rambut yang mengikuti tren ibukota, memakai celana jeans, menggunakan parfum yang lumayan bermerk dan mulai berpikir tentang sesuatu atau melihat masalah dari beberapa sudut pandang—atau dalam antropologi kita kenal dengan istilah relativisme kebudayaan—untuk menghilangkan stereotipe bahwa orang Kebumen/orang ngapak itu kolot dan ndeso/kampungan.

Kesimpulan yang bisa saya ambil dari hasil kontemplasi saya terhadap kasus di atas adalah bahwa asimilasi adalah segala bentuk penyesuaian-penyesuaian kultural yang dilakukan orang-perorangan maupun kelompok ketika terjadi kontak sosial demi menghindari prasangka, mencapai harmonisasi dengan lingkungan yang baru dan mencapai kenyamanan—ragawi maupun batiniah—baik yang dirasakan oleh diri sendiri maupun kelompok. Kegagalan dalam berasimilasi bisa menyebabkan ketidakharmonisan antara kita dan masyarakat dari daerah yang baru. Kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Kebudayaan adalah hasil belajar (Koentjaraningrat, 1960) oleh karena itu kita menghadapi persoalan budaya juga dengan belajar. Belajar menyesuaikan.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


HITSTAT

Total Pageviews

Popular Post

Arsip

- Copyright © 2013 Catatan Harian Awanul Hamzah| Powered by Blogger