Friday, June 7, 2013

Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata Nazi? mungkin Adolf Hitler,Holocaust,dan lainya.Tapi yang terjelaskan pada pembahasan kali ini adalah sebuah Divisi yang terdiri dari orang orang Muslim Bosnia yang bukan merupakan orang German alias non-German.Rencana ini sudah disetijui oleh Adolf Hitler sendiri,atas usulan dari Heinrich Himmler yang menganggap bahwa Islam menciptakan pejuang yang tanpa takut karna Islam menjanjikan bahwa tewas dalam perang adalah jalan menuju surga.Pada April 1943,seorang Mufti Jerusalem dipanggil untuk membantu seleksi dan mengatur untuk masuk ke Waffen-SS.



Akhirnya setelah rekruitmen selesai,didapati sekitar 60% adalah Muslim dan sisanya adalah orang German yang menetap di Bosnia yang terhitung ada sebanyak 23,200 Muslims dan 2,800orang Kroasia.Dan,setiap divisi memiliki imam imam di setiap batalion.

Pada tanggal 9 Oktober,barulah nama amereka ditetapkan sebagai 3. Waffen-Gebirgsdivision der SS"Handschar" Division..Dan pada 15 February 1944 selesailah latihan mereka di Neuhammer dan siap kembali NDH alias Kroasia.



PEMBENTUKAN

Pada masa Perang Dunia II, setelah menaklukkan Yugoslavia, Hitler menempatkan Bosnia-Hercegovina di bawah Negara Kroasia Merdeka. Negara boneka Nazi itu diperintah oleh seorang tokoh yang lalim, Ante Pavelic, kepala organisasi teroris Ustasa. Pada mulanya, banyak tokoh Muslim Bosnia mendukung NDH dan mendapatkan sejumlah jabatan tinggi dalam pemerintahan Pavelic, termasuk kursi wakil presiden. Ribuan pemuda Muslim juga bergabung dengan angkatan bersenjata Kroasia dan berbagai milisi Ustasa.

Namun pembersihan etnis yang dilakukan rezim Ustasa terhadap komunitas Serbia yang hidup di negara boneka Kroasia mengubah keadaan tersebut. Keterlibatan kaum Muslim dalam pemerintahan Ustasa dan kebijakan pembersihan etnisnya membuat komunitas Muslim (dan Kroasia) menjadi sasaran serangan brutal dari gerilyawan Serbia. Pada gilirannya, untuk menyelamatkan komunitasnya, sejumlah tokoh Muslim meminta Hitler untuk memisahkan Bosnia-Hercegovina dari negara boneka Kroasia dan menjadikannya sebuah protektorat Nazi. Sebagai imbalannya, para pemuda Muslim menjadi relawan dalam angkatan bersenjata Jerman Nazi.

Hitler mengabaikan permintaan mereka untuk menjadikan Bosnia-Hercegovina sebagai protektorat Nazi, namun bersedia menampung keinginan para pemuda Muslim untuk bergabung dengan angkatan perangnya. Kebencian tradisional kaum Muslim terhadap orang Kristen Serbia serta kaum komunis dipandangnya sebagai alat yang berguna untuk memerangi kaum Partisan pimpinan Tito yang didominasi oleh orang Serbia. Akhirnya, pada bulan Februari 1943, Hitler memerintahkan pemimpin SS Himmler untuk merekrut kaum Muslim Bosnia ke dalam sebuah divisi Waffen-SS.

Sekalipun dihalangi oleh rezim Pavelic, yang menganggap sebagai dorongan bagi gerakan separatis Muslim, perekrutan dimulai pada bulan Maret 1943. Pihak SS menggunakan Mufti Besar Yerusalem yang pro-Nazi untuk mendorong kaum Muslim Bosnia agar bergabung dengan Waffen-SS untuk memerangi ancaman “Yahudi-Bolshevik”. Usaha perekrutan awal menghasilkan 8.000 orang sukarelawan. Namun karena jumlah itu tidak memadai untuk mengawaki sebuah divisi, Himmler kemudian menekan pemerintah Ustasa agar mentransfer kaum Muslim yang bertugas dalam angkatan perang Kroasia ke Waffen-SS serta mengadakan wajib militer terhadap kaum Muslim. Akhirnya, divisi yang dinamakan 13.Waffen-Gebirgsdivision der SS ‘Handschar’ itu memiliki sekitar 21.000 orang anggota, di mana 90 persen adalah orang Muslim—termasuk beberapa ratus orang Muslim Albania dari Kosovo dan Sandzak. Kepemimpinan atas divisi itu dipegang oleh para perwira serta bintara Jerman dan minoritas Jerman di Yugoslavia.

Para prajurit Muslim SS mendapatkan sejumlah hak istimewa berkaitan dengan agama mereka. Sementara unit-unit SS Jerman tidak diperkenankan memiliki pendeta militer karena sikap anti-Kristen Himmler, divisi Bosnia itu memiliki para imam Islam yang melayani kebutuhan rohani para prajurit. Mereka juga mendapatkan ransum halal dan diizinkan melakukan kegiatan agamanya. Sebagai ciri khas Muslim mereka, anggota divisi ini mengenakan tarbus (peci berjumbai) yang dimodifikasi.

Pemberontakan

Pada bulan Juli 1943, SS mengirimkan divisi itu untuk berlatih di Prancis agar jauh dari gangguan kelompok partisan. Namun kebijakan ini tidak populer. Keadaan tidak bertambah baik karena sikap arogan para instruktur Jerman. Akibatnya, pecah pemberontakan di sebuah batalyon divisi itu yang berpangkalan di Villefranche-sur-Rouergue pada bulan September 1943, yang menewaskan beberapa perwira dan bintara SS. Pemberontakan dipadamkan oleh imam batalyon serta prajurit Bosnia yang tetap setia kepada Jerman. Para pemimpin pemberontakan dieksekusi, sementara ratusan pemberontak lainnya dikirim ke barisan pekerja paksa atau kamp konsentrasi. Divisi itu sendiri kemudian dikirimkan ke Silesia, Jerman, untuk melanjutan pelatihan. Perang anti-partisan

Pada pertengahan Februari 1944, ‘Handschar’ dikirimkan kembali ke Bosnia timur laut, di mana mereka berpangkalan di kawasan Brcko di Sungai Sava. Pada bulan Maret, mereka bertugas memerangi kaum partisan Yugoslavia sebagai bagian Korps Gunung SS ke-V bersama-sama Divisi SS ke-7 ‘Prinz Eugen’. Tidak lama setelah kedatangannya, ‘Handschar’ harus menyerahkan sebuah batalyonnya, yang terdiri atas orang Albania, untuk menjadi kader Divisi SS ke-21 ‘Skanderbeg’. Sebulan kemudian, divisi itu kembali kehilangan sejumlah besar anggotanya karena dijadikan kader inti bagi divisi SS Muslim Bosnia kedua yang hendak dibentuk, yang disebut Divisi SS ke-23 ‘Kama’.

Antara bulan Maret hingga September 1944, ‘Handschar’ dilibatkan dalam berbagai operasi anti-partisan, di mana mereka banyak melakukan kejahatan perang terjadap komunitas Serbia Bosnia. Namun saat Jerman mulai menarik diri dari Balkan setelah pembelotan Bulgaria dan Rumania, ribuan prajurit SS Bosnia melakukan desersi. Setelah kompi pengawal markas besar divisi itu melakukan desersi di bawah pimpinan imam divisi itu sendiri, Himmler yang murka memerintahkan agar semua orang Bosnia yang dicurigai tidak setia dilucuti dan dikirimkan ke barisan pekerja.

Penyerahan

Pada pertengahan Oktober, kekuatan ‘handschar’ merosot hingga seukuran resimen. Komposisi anggotanya kini lebih banyak didominasi oleh orang Jerman dan minoritas Jerman. Mereka kemudian dikirimkan ke Front Timur dan bertugas di perbatasan Hungaria-Kroasia. Selama periode ini, lima orang anggotanya memperoleh medali Knight Cross.

Setelah serangan besar-besaran Tentara Merah pada akhir Maret 1945, ‘Handschar’ mundur ke barat dan menyerah kepada pasukan Inggris di Austria pada awal Mei 1945. Tiga puluh delapan perwira dan bintara Jerman dari divisi ini kemudian diekstradisi ke Yugoslavia, di mana 10 orang dieksekusi, sementara sisanya dijatuhi hukuman penjara. Komandan kedua ‘Handschar’, SS-Gruppenfuehrer Sauberzweig bunuh diri untuk menghindari ekstradisi sementara penggantinya, SS-Brigadefuehrer Desiderius Hampel berhasil melarikan diri dari kamp tawanan Inggris.

Hanya sedikit prajurit Bosnia yang dihukum setelah berakhirnya perang. Kebanyakan di antara mereka diberikan amnesti oleh pemerintahan Tito, di mana beberapa orang kemudian bergabung dengan tentara Yugoslavia. Kebanyakan prajurit Bosnia yang enggan tinggal di negerinya yang berada di bawah pemerintahan komunis beremigrasi ke Jerman, Austria, atau Timur Tengah. Beberapa di antaranya kemudian bertugas dengan tentara Mesir dan Syria untuk memerangi orang Yahudi saat Perang Arab-Israel Pertama.

Banyak Perwira Nazi Yang Memilih Masuk Islam

Banyaknya bangsa Arab dan Muslim yang membela sekutu pada perang dunia pertama merasa telah dikhianati oleh janji-janji manis sekutu mengenai kemerdekaan dan hak-hak mereka (bahkan sampai sekarang pihak barat/sekutu masih membodohi masyarakat muslim). Sedangkan Jerman adalah pihak yang kalah pada perang dunia pertama. Intinya: Mereka memiliki musuh yang sama dengan latar belakang yang berbeda.

November 1938 sebuah surat kabar bernama Die Welt, dengan merujuk pada artikel yang muncul di Der Arbeitsmann, menulis sebagai berikut: “Inti utama dari artikel tersebut adalah pujian akan konsep Islam tentang takdir, sebagai sebuah contoh komperehensif akan ide-ide tentang nasib yang akan datang. Hal ini sekaligus pula bertentangan dengan konsep-konsep yang diyakini oleh doktrin Kekristenan yang selama ini berlaku.” Di pihak lain, dengan merujuk pada mingguan Berlin Fridericus, sebuah majalah Prancis menulis bahwa “jumlah orang-orang yang masuk Islam yang semakin meningkat sampai saat ini tak pernah menimbulkan masalah berarti di Jerman.”

Fridericus mengklaim bahwa hal ini disebabkan oleh konsep Islam yang “memproklamasikan prinsip-prinsip vital dari etika yang sudah terbina, sehingga sangat mungkin untuk dikonfirmasikan.” Dengan mengharmonisasikan ide-ide keadilan dan pengampunan, Islam telah membuat “banyak orang-orang Nordik yang merasa tertarik dengan ajaran-ajaran pembebasan dan keseteraan yang dikemukakannya.”

Der Welt menyimpulkan laporannya: “Orang-orang Austria yang bergabung kembali dengan Reich mendapati bahwa di ibukota yang baru kini berkembang penelitian dan minat yang besar akan agama Muhammad, sehingga kita bisa melihat bertambahnya orang-orang lokal yang memproklamirkan diri sebagai pengikutnya (seperti tercatat di laporan resmi pemerintah). Di pihak lain, propaganda-propaganda terencana yang mendukung ditinggalkannya ajaran-ajaran Gereja Kristen malah semakin berkembang.” (dikutip dari buku “Nazisme et Islam” karya Omar Amin Mufti).

Dalam Perang Dunia II, Jerman berperang melawan negara-negara yang selama ini kita kenal sebagai negara penjajah bangsa-bangsa Muslim seperti Inggris, Prancis, Rusia dan Belanda. Hal inilah yang menyebabkan jutaan orang Islam di seluruh dunia mendukung Hitler dan mendaftarkan diri sebagai sukarelawan di ketentaraannya. Sebagian terbesar dari mereka adalah orang-orang Bosnia, Albania, Chechnya, Tatar, dan bangsa-bangsa lainnya yang berada di bawah tirani komunis Soviet. Jangan lupakan pula unit-unit yang terdiri dari para anggota perlawanan Arab (Freies Arabien).

Muhammad Amin al-Husseini, Mufti Besar al-Quds (Jerusalem), memimpin perlawanan Palestina melawan Yahudi dan Inggris dari pembuangannya di Berlin, dan mantan Perdana Menteri Irak Rashid Ali al-Gailani juga memimpin perlawanan bangsanya dalam melawan imperialisme Inggris dari ibukota Jerman tersebut. Terdapat pula grup-grup pelopor dari jurnalis Arab, penulis, dan aktivis yang berjuang demi kemerdekaan negara mereka masing-masing dari pengasingan mereka di Jerman.

Para pendukung Arab ini di antaranya adalah Dr. Fritz Grobba, seorang veteran di Kementerian Luar Negeri dari tahun 1924 yang kemudian bertugas sebagai Duta Besar Jerman di Irak dan Arab Saudi. Dia merupakan seorang pengagum kebudayaan Islam yang dijuluki “Lawrence of Arabia-nya Jerman” dan menjadi teman dekat dari al-Husseini. Setelah Perang Dunia II usai, Grobba memeluk agama Islam dan menjadi penghubung politik antara pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser dengan pihak Jerman dan Soviet (Kevin Coogan, Dreamer of the Day: Francis Parker Yockey and the Postwar Fascist International, New York: Autonomedia, 1999, halaman 383).

Tokoh lainnya adalah Werner-Otto von Hentig, teman dekat dari Grobba yang merupakan mantan kepala Divisi Arab di Kementerian Luar Negerinya Joachim von Ribbentrop. Setelah perang usai, dia menghabiskan sebagian besar waktunya di Timur Tengah. Pada tahun 1955 Raja Ibnu Saud menunjuknya sebagai kepala penasihat Eropa untuk Arab Saudi. Dahsyatnya lagi, dia kemudian menjabat sebagai Duta Besar Jerman untuk? Indonesia! Dalam kapasitasnya tersebut, dia menemani delegasi Saudi sebagai penasihat khusus dalam Konferensi Asia-Afrika yang digelar di Bandung bulan April tahun 1955. Hentig memberi nasihat pada orang-orang Arab untuk mengadopsi kebijakan netralisme dalam politik dunia dan mempertahankan kemerdekaan mereka dari super power dunia saat itu, Amerika dan Rusia (Kevin Coogan, Dreamer of the Day: Francis Parker Yockey and the Postwar Fascist International, New York: Autonomedia, 1999, halaman 384).

kebangkitan Jerman sebagai negara superpower dan pendirian divisi-divisi Islam. Semua ini telah menyediakan sebab bagi kebijakan-kebijakan Hitler yang sangat pro-Muslim. Hambatan utama terletak dari diplomat-diplomat tua yang lebih memilih kebijakan konservatif demi menenangkan kekuatan-kekuatan dunia saat itu dan tidak mengancam keseimbangan kekuatan yang ada. Tapi disana terdapat pula elemen-elemen muda dalam tubuh Kementerian Luar Negeri Jerman yang ingin mengambil keuntungan dari perjuangan anti-kolonialisme yang digalakkan negara-negara terjajah sehingga mereka mendukung adanya kebijakan pro-Arab dalam melawan Zionisme yang didukung oleh imperialis Barat. Tentu saja hal ini sangat klop dengan arah kebijakan yang diambil Hitler saat itu.

Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak para petinggi Nazi dan mantan perwira SS yang pindah ke negara-negara Arab, menjadi penganut agama Islam, dan mempunyai jabatan militer atau birokratis di negara baru mereka, terutama di Mesir dan Suriah (cf., Jean and Michel Angebert, The Occult and the Third Reich, New York: Macmillan.)

Berikut ini Perwira Nazi yang memilih menjadi Muallaf :

- Erich Altern (Ali Bella) : Mantan komisioner seksi urusan Yahudi di Gestapo yang kemudian menetap di Mesir dan menjadi instruktur para pejuang perlawanan Fatah dalam melawan Israel.
- Hans Appler (Salah Chaffar) : Mantan anakbuah Goebbels yang kemudian bekerja di Kementerian Informasi Inggris tahun 1956 dan kemudian dilanjutkan dengan menjadi anggota Islamic Congress.
- Franz Bartel (Hussein) : Asisten kepala Gestapo di Kattowitz, dari sejak tahun 1959 dia lalu bertugas di departemen Yahudi yang menjadi bagian dari Kementerian Informasi Mesir.
- Walter Baumann (Ali Ben Khader) : SS-Sturmbannführer yang pernah bertugas di Warsawa, dia lalu bekerja di Kementerian Peperangan Mesir dan menjadi instruktur Front Pembebasan Palestina.
- Fritz Bayerlein : Jenderal terkenal Perang Dunia II yang pernah bertempur bersama Erwin Rommel di Afrika Utara. Dia ikut membantu perbaikan tank-tank kepunyaan Angkatan Darat Mesir.
- Hans Becher : Kepala seksi Yahudi Gestapo di Wina, dia kemudian menjadi instruktur kepolisian Mesir di Alexandria (Iskandariyah).
- Wilhelm Beissner : Kepala Kantor Pusat Keamanan Reich (RSHA) yang kemudian bertempat tinggal di Mesir.
- Bernhard Bender (Bashir Ben Salah) : perwira Gestapo yang pengetahuan mendalamnya akan Yiddish membuatnya mampu masuk ke dalam organisasi bawah tanah Yahudi di Warsawa. Dia kemudian bertugas sebagai penasihat satuan polisi politik di Kairo dengan pangkat Letnan Kolonel.
- Werner Birgel (El-Gamin). Perwira SS dari Leipzig yang bertugas di Kementerian Informasi Mesir.
- Wilhelm Böckler (Abd al-Karim) : SS-Untersturmführer yang bertugas di Warsawa. Dia kemudian menjadi seorang pejabat di Kementerian Informasi Mesir bagian urusan Israel setelah kabur ke negara tersebut pada tahun 1949.
- Wilhelm Börner (Ali Ben Keshir): SS-Sturmbannführer yang kemudian bertugas di Kementerian Dalam Negeri Mesir dan menjadi instruktur Front Pembebasan Palestina.
- Alois Brunner (Ali Mohammed) : Perwira SS yang memegang posisi senior di Departemen Yahudi pimpinan Adolf Eichmann. Dia kemudian menjadi penasihat pasukan khusus Mesir dan Suriah. Mossad (dinas intelijen Israel) berkali-kali mencoba membunuhnya di Damaskus, yang diberitakan sebagai tempat tinggalnya.
- Friedrich Buble (Ben Amman) : SS-Obergruppenführer bersama Gestapo yang kemudian menjadi direktur Departemen Hubungan Masyarakat Mesir tahun 1952 sekaligus sebagai penasihat pasukan polisi Kairo.
- Franz Bünsch: Anak buah Goebbels yang menjadi koresponden BND di Kairo dan membantu mengorganisasikan mata uang Riyal Arab Saudi tahun 1958.
- Erich Bunzel : SA-Obersturmführer sekaligus Major dan kolega Goebbels. Dia kemudian bertugas di departemen Israel di Kementerian Informasi Mesir.
- Joachim Däumling (Ibrahim Mustafa): Kepala Gestapo di Düsseldorf, dia kemudian menjadi penasihat sistem penjara Mesir dan anggota pelayanan operator radio di Kairo. Dia dipekerjakan untuk membantu pengembangan dinas intelijen Mesir.
- Hans Eisele : Dokter SS dengan pangkat Hauptsturmführer yang kemudian menjadi staf medis di fasilitas pesawat dan misil Mesir di Helwan sampai dengan kematiannya tahun 1965.
- Wilhelm Fahrmbacher : Generalleutnant dalam tubuh Wehrmacht yang menjadi penanggungjawab Vlassov Armee di Prancis tahun 1944. Dia kemudian bertugas sebagai penasihat militer Gamal Abdel Nasser dan bergabung dengan staff perencana pusat di Kairo.
- Eugen Fichberger : SS-Sturmbannführer
- Leopold Gleim (Ali al-Nasher) : SS-Standartenführer di Warsawa dan kepala departemen Gestapo untuk urusan Yahudi di Polandia. Dia kemudian bertugas di dinas intelijen Mesir.
- Gruber (Aradji) : Teman dekat kepala Abwehr (Dinas Intelijen Wehrmacht) Admiral Wilhelm Canaris. Dia lalu melarikan diri ke Mesir dan bekerja untuk Liga Arab dari tahun 1950.
- Baron von Harder : Mantan asisten Goebbels yang kemudian tinggal di Mesir.
- Ludwig Heiden (Luis el-Hadj) : Perwira SS sekaligus jurnalis Weltdienst (agen pers Jerman) yang ditransfer ke kantor pers Mesir dalam Perang Dunia II. Setelah perang usai, dia kembali lagi ke Mesir tahun 1950 dan menulis buku-buku tentang Third Reich dalam bahasa Arab!
- Aribert Heim : SS-Hauptsturmführer yang kemudian menjadi dokter di pasukan kepolisian Mesir.
- Franz Hithofer : Perwira Gestapo di Wina yang melarikan diri ke Mesir tahun 1950.
- Ulrik Klaus (Muhammad Akbar).
- Karl Luder : Mantan kepala Hitlerjugend di Polandia yang kemudian bertugas di Kementerian Peperangan Mesir.
- Gerhard Mertins : SS-Standartenführer.
- Rudolf Mildner : SS-Standartenführer dan kepala Gestapo di Katowitz dan Polizei di Denmark. Dia bertempat tinggal di Mesir dari tahun 1963.
- Alois Moser : SS-Gruppenführer yang bertugas di Ukraina dan kemudian menjadi instruktur gerakan paramiliter BAJU HIJAU di Kairo.
- Oskar Münzel : Jenderal Wehrmacht yang melarikan diri ke Mesir tahun 1950 dan kemudian mengorganisasi pasukan parasut negara tersebut.
- Gerd von Nimzek (Ben Ali) : Melarikan diri ke Mesir tahun 1950.
- Achim Dieter Pelschnik (el-Said) : Melarikan diri ke Mesir usai Perang Dunia II.
- Franz Rademacher (Thome Rossel) : Direktur seksi urusan Yahudi di Kantor Kementerian Luar Negeri Jerman dari tahun 1940 sampai dengan 1943. Dia kemudian melarikan diri ke Suriah dan bekerja sebagai jurnalis lokal.
- Hans Reichenberg : Mantan perwira SS yang tinggal di Tangier dan mendirikan perusahaan ekspor-impor Arabo-Afrika dan membantu penyelundupan senjata-senjata untuk kepentingan organisasi perjuangan anti-imperialis FLN di Aljazair.
- Schmalstich : SS-Sturmbannführer
- Seipel (Emmad Zuhair) : SS-Sturmbannführer dan perwira Gestapo di Paris yang kemudian bekerja untuk dinas keamanan di Kementerian Dalam Negeri Mesir.
- Heinrich Sellmann (Hassan Suleiman) : Kepala Gestapo di Ulm yang mengabdi di dinas keamanan Kementerian Informasi Mesir sekaligus menjadi penasihat masalah kontra-spionase.
- Ernst-Wilhelm Springer : Mantan perwira SS yang ikut membantu pembentukan Legiun Muslim SS dan kemudian mengungsi ke Mesir setelah perang. Dia lalu melanjutkan karirnya sebagai penyedia senjata untuk FLN.
- Albert Thielemann (Amman Kader) : Kepala SS di Bohemia yang bertugas di Kementerian Informasi Mesir.
- Erich Weinmann : SS-Standartenführer dan kepala Sicherheitsdienst (SD) di Praha. Dia lalu melarikan diri ke Mesir tahun 1949 dan menjadi penasihat dinas kepolisian Alexandria dari tahun 1950.
Dan sekarang saya ingin bertanya: Kita dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda, dan kemudian Belanda sendiri diperangi oleh Hitler, lalu mengapa sekarang kita berteriak menghujat Nazi dan segala sesuatu tentangnya dengan “berpedoman” pada propaganda karbitan yang kita telan mentah-mentah? Apakah dalam sejarahnya Nazi Jerman pernah menjajah Indonesia? Apakah dalam sejarahnya Nazi Jerman begitu berlumuran darah orang-orang Muslim? Jawabannya adalah: NO WAY Yang jelas ada negara Adikuasa yang sengaja membuat berita propaganda tentang Hitler dan Pasukan Nazinya...

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


HITSTAT

Total Pageviews

Popular Post

Arsip

- Copyright © 2013 Catatan Harian Awanul Hamzah| Powered by Blogger