Saturday, July 27, 2013


Sudah setengah bulan berlalu Ramadhan tahun ini dan tak akan kembali lagi. Sedikit berbagi dengan isi kultum pas tarawih.

Ibadah shaum yang diwajibkan Allah dalam QS Al Baqarah ayat 183 sebenarnya mencakup dua jenis shaum, yakni shaum jasad atau lahiriyah dan shaum jiwa atau shaum batihiah. Shaum jasad adalah shaum yang lazimnya dijumpai dalam kitab-kitab Fiqh. Tentang jenis shaum ini, para Ulama mendefinisikannya sebagai menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami isteri di siang hari sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Yang paling banyak dipahami kaum Muslim adalah shaum jenis ini sampai-sampai Rasulullah SAW, bersabda: “Betapa banyak orang yang bershaum tetapi tidak memperoleh apa-apa dari shaumnya itu selain lapar dan dahaga saja”.

Ini disebabkan kita terlalu memusatkan diri pada shaum jasad ini. Imam Ali bin Abi Thalib mendefinisikan shaum jasad ini sebagai shaum yang dilakukan dengan menahan diri dari makan dan minum, dilaksanakan dengan kehendak, niat, dan ikhtiar, merasa takut dari siksa, dan mengharapkan pahala dan balasan.

Sementara itu, shaum jiwa-menurut Imam Ali- adalah menahan panca indera dari seluruh dosa dan mengosongkan kalbu dari seluruh penyebab keburukan. Jadi, memikirkan keburukan saja sudah membatalkan shaum jiwa. Dua jenis shaum ini harus dipadukan dalam satu rangkaian agar ibadah shaum dapat mengantarkan kita pada derajat takwa. Takwa termasuk suatu maqom yang tinggi. Maqom yang lebih tinggi lagi adalah yakin. Takwa adalah maqom di bawah yakin. Di bawah maqom takwa, ada iman. Di bawah maqom iman, ada Islam. Islam adalah maqom terendah. Karena itu, di kalangan kaum muslim yang masih berada dalam maqom islam ini sering terjadi perselisihan. Semakin tinggi maqom, semakin berkurang perselisihan. Semakin tinggi maqom seseorang, semakin arif dan bijak dirinya.

Ibadah shaum yang dikehendaki Allah dimaksudkan untuk meningkatkan maqom hamba-hamba-Nya yang beriman, dari “orang-orang yang beriman” menjadi “orang-orang yang bertakwa” . karena itu, shaum dianggap batal bila hanya jasadnya yang bershaum. Banyak riwayat yang menyebut hal-hal ini. Misalnya saja, suatu hari di bulan ramadhan, Rasulullah SAW melihat seorang wanita yang sedang mencaki-caci pembantunya. Kemudian beliau menyuruh wanita tersebut untuk mengambil makanan. Setelah makanan dihadirkan, Rasulullah SAW menyuruh memakan makan itu. Wanita itu berkata,” Ya Rasulullah, aku sedang bershaum”. Rasulullah SAW berkata, “ Bagaimana mungkin engkau bershaum, padahal tadi aku mendengar engkau mencaci maki pembantumu.”

Nabi menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh wanita yang marah tadi, dari sisi jiwa, telah membatalkan shaum. Ini mungkin dilihat sebagai bentuk ketidakmampuannya mengendalikan emosi. Sehingga yang dilakukannya justru “merusak” makna shaum yang seharusnya bisa mengendalikan emosi hingga tidak keluar kemarahan dan cacian pada orang lain. Memang secara jasad ia bershaum, tetapi lidahnya masih mencaci orang lain. Lalu Rasulullah SAW pun menerangkan bahwa yang dimaksud dengan bershaum tidak hanya menahan diri dari makan dan minum saja. Justru, untuk menahan pancaindera atau anggota badan lain dari perbuatan-perbuatan lain yang diharamkan. Dalam bahasa lain, ibadah shaum membentuk kesalehan untuk individual sekaligus sosial.

Kesalehan sosial merupakan kepedulian kepada nilai-nilai islami yang bersifat sosial. Di antaranya suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong dan sebagainya. Selain menjalankan ibadah shaum yang berarti hubungannya dengan Allah (hablun minallah), kita mempunyai tugas untuk beribadah sosial yakni dengan manusia (hablun minan naas). Hal itu menandakan kesalehan total dalam Islam. Di sini menandakan munculnya kesalehan sosial sebab dari pemaknaan terhadap shaum jiwa.

Kesalehan sosial dalam bershaum merupakan tindakan kritis untuk membangun tatanan sosial yang lebih baik. Banyak hal yang dapat dilakukan, misalnya dalam konteks penanggulangan dan pengentasan kemiskinan, pencegahan tindak korupsi dan lain-lain. Harus dipertanyakan komimen ibadah shaum seorang muslim. Bila tidak ada perubahan dalam sensitivitas dan kepedulian mewujudkan keadilan dan solidaritas sosial pada yang lemah, berarti menandakan kurangnya kesadaran spiritual.

Kesalehan sosial dalam solidaritas sosial sebenarnya erat kaitannya dengan kesalehan individual. Jika secara spiritual, shaum membawa pengaruh positif dalam sikap keagamaan dalam arti individunya, maka rasa kemanusiaannya pun akan besar. Begitu pula sebaliknya, jika shaum tidak membawa pengaruh terhadap aspek spiritual maka aspek sosialnya pun akan kecil.

Shaum Ramadan merupakan sebuah jawaban untuk mendidik individu atau masyarakat dalam mengontrol keinginan dan kesenangan dalam dirinya. Karena, makna sosial dalam bershaum akan berdampak positif berupa rasa solidaritas dan kepedulian antarsaudara, rasa kemanusiaan yang mendalam atas penderitaan sesama manusia. Itulah makna takwa sebagai hakikat tujuan shaum yang sebenarnya.

Selamat bershaum. Mudah-mudahan dapat meningkatkan derajat ketakwaan kita dengan memaknainya tidak hanya secara jasad, tapi juga jiwa. Amin.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


HITSTAT

Total Pageviews

Popular Post

Arsip

- Copyright © 2013 Catatan Harian Awanul Hamzah| Powered by Blogger