Tuesday, July 30, 2013




Siapa yang tak mengenal KH. Ahmad Dahlan ? Siapa juga yang tak mengenal KH. Hasyim Asy`ari ? Saya yakin hampir semua penganut agama Islam mengenal mereka berdua. Karena merekalah Pendiri MUHAMMADIYAH & NU.

Kedua Ormas yang sekarang sering gontok-gontokan dan saling menjelekkan terutama dikalangan bawah, kalau di tingkat atas rukun padahal. Entah kenapa bisa seperti itu, terutama di Bulan Ramdhan yang mulia ini. Sampai-sampai shalat tarawih pun banyak yang memisahkan diri. Kalau yang Muhammadiyah di musholla anu dan yang NU di musholla itu.

Padahal persatuan Umat Islamlah yang akan membuat Islam jaya, tapi entah kenapa dua ormas itu susah sekali disatukan. Awal Ramdhan sudah berbeda, dan hampir setiap tahun selalu terjadi itu, entahlah untuk Awal Syawal tahun ini apakah terjadi perbedaan lagi seperti tahun-tahun sebelumnya ? Tinggal kita tunggu saja kabar berikutnya.

Tapi tahukah pembaca awanulhamzah.blogspot.com ini kalau ternyata keduanya TERNYATA SATU GURU Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli Hadis dan sama-sama ahli fikih juga sama-sama santri Kyai Sholeh Darat Semarang. 

Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan islam menurut skill dan lingkungan masing-masing. Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari kota Jogjakarta. Sementara kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena berasal dari desa, Jombang.

Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia. Allahummaghfir lahum. Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). 

Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu. Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain : 

1. Shalat tarawih, sama-sama dua puluh rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat tarawih dua puluh rakaat di masjid Syuhada Yogya. 
2. Talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan (?). 
3. Baca doa qunut Shubuh. 
4. sama-sama gemar membaca shalawat (diba’an).
5. Dua kali khutbah dalam shalat Id, Idul Ftri dan Idul Adha. 
6. Tiga kali takbir, “Allah Akbar”, dalam takbiran. 
7. Kalimat Iqamah (qad qamat al-shalat) diulang dua kali, 
8. Ini yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. 

Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah. Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitab Fikih Muhammadiayah yang terdiri dari tiga jilid, yang diterbitkan oleh : Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343-an H. 

Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktik ibadah yang rupanya “Harus Beda“ dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalil, nanti difikir bareng dan dicari-carikan. 

Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah Tesis yang meneliti Hadis-hadis yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih. Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah : bahwa mayoritas Hadits-Hadits yang pakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha’if. 

Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma’in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadits dha’if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau Fadha’il al-a’mal. 

Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktik ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. 

Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih delapan plus tiga witir, bagaimana praktiknya ?. Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi : 4,4,3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk tarawih. Dan tiga rakaat untuk witir. Model witir tiga sekaligus ini versi madzahab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu witir. Ini versi al-Syafi’ie. 

Tapi pada tahun 1987, praktik shalat tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadis dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadis Muslim lebih shahih ketimbang Hadis empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan majlis tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushallah di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. 

Inilah fakta sejarah

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments


HITSTAT

Total Pageviews

Popular Post

Arsip

- Copyright © 2013 Catatan Harian Awanul Hamzah| Powered by Blogger